Minggu, 30 Januari 2011

cerpen: REPUBLIK INDONESIANA

REPUBLIK INDONESIANA
Oleh: Dul Abdul Rahman

Ternyata kepulauan nusantara yang bernama Indonesia bukan hanya dihuni oleh bangsa manusia saja. Bahkan jauh sebelumnya, sebuah bangsa telah membangun peradaban di sana. Bukan bangsa manusia tetapi bangsa binatang. Tak tanggung-tanggung, untuk menunjukkan bahwa mereka bangsa yang beradab, mereka menamai negaranya Republik Beradab Indonesiana. Indonesiana berasal dari kata Indonesia dan fauna. Sedangkan republik berarti rakyat ber-empati pada publik dan lingkungan. Filosofinya, seluruh rakyat yang menghuni negeri itu harus saling menyayangi antar warga serta bersahabat dengan alam.
Alhasil, Republik Indonesiana menjadi negeri yang aman tenteram, makmur, bersahaja, bersahabat. Namun itu beberapa tahun silam. Kini para warga binatang resah. Silih berganti negerinya dilanda bencana. Seperti drama-drama berseri, bencana sambung-menyambung. Banjir lumpur panas, banjir bandang, gempa bumi, gelombang tsunami, kebakaran hutan. Kecelakaan transportasi darat, laut, udara pun tak kalah ganasnya.
Inilah yang sangat merisaukan bangsa binatang. Tak mau negeri mereka seperti Sodom dan Gomorrha. Maka berkumpullah para pakar dari bangsa binatang. Binatang darat diwakili oleh Kambing dan Bunglon. Binatang laut(air) diwakili oleh Buaya dan Lintah. Binatang udara diwakili oleh Kupu-kupu dan burung Beo. Dewan pakar ini dipimpin oleh Kerbau. Sudah menjadi kebiasaan di Republik Indonesiana bahwa selalu dewan kepakaran dipegang oleh binatang darat.
Sebagai wujud keprihatinan yang mendalam. Pertemuan dewan pakar bangsa binatang diadakan di kawasan Porong Sidoarjo. Menurut mereka, tragedi lumpur lapindo diakibatkan seratus persen ketamakan manusia.
“Hadirin para anggota dewan pakar bangsa binatang yang berbahagia! Kita sengaja memilih kawasan lumpur lapindo sebagai tempat sidang sebagai wujud keprihatinan kita. Ini pertemuan keprihatinan. Disini benar-benar memprihatinkan.” Kerbau yang bertubuh besar itu mulai membuka sidang.
Para anggota dewan pakar bangsa binatang terdiam beberapa jenak. Mereka sangat sedih atas segala musibah yang menimpa negerinya. Dan yang menjadi korban bukan hanya dari kaumnya saja, tapi seluruh makhluk yang menghuni nusantara.
“Baiklah hadirin. Sebelum kita membuat suatu rumusan untuk mencegah terjadinya lagi musibah di tanah air kita, sebaiknya kita terlebih dulu mengidentifikasi kesalahan-kesalahan apa saja yang terjadi di negeri ini yang bisa mengundang bencana dan kemurkaan Tuhan.”
“Kesalahan manusia.” Koor peserta sidang.
“Hadirin yang terhormat. Harap jangan melimpahkan kesalahan pada manusia sebelum ada bukti-bukti konkrit. Ingat! Kita bangsa beradab.” Kerbau mengajak rekan-rekannya bersikap bijak.
“Ketua sidang yang terhormat! Kami punya bukti-bukti bahwa manusia itu banyak berbuat dosa.” Buaya setengah berteriak diamini oleh Kambing dan Kupu-kupu.
“Manusia juga curang. Bila mereka berbuat jahat, kejahatannya atas nama bangsa binatang.” Teriak Lintah diamini oleh Bunglon. Sementara burung Beo yang agak dekat dengan manusia hanya terkekeh-kekeh.
“Kejahatan apa yang diperbuat manusia mengatasnamakan binatang?” Kerbau penasaran.
“Ketika mereka menipu, mereka bilang lintah darat.” Hadirin terbahak-bahak mendengar penuturan Lintah. Sementara Lintah hanya cemberut mengkerut dihimpit lumpur lapindo.
“Baiklah. Supaya perkaranya jelas, saya persilakan satu persatu untuk memperjelas duduk perkaranya. Pengadilan bangsa binatang memiliki asas praduga tak bersalah. Yang pertama, silakan Bung lintah!” Ketua sidang rupanya kasihan melihat Lintah yang cemberut mengkerut.
“Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah ketamakan dan kelicikan manusia. Setelah banyak menipu dengan dalih sebagai lintah darat, ketamakannya pula membuat kawasan porong berlumpur.” Suara Lintah terserak dalam kesedihan.
“Tapi bukankah lumpur adalah berkah buat Lintah.” Burung Beo menyela.
“Iya. Asalkan lumpurnya tidak beracun.” Lintah makin sedih.
“Selanjutnya saya persilakan Bung Buaya.” Ketua sidang rupanya tak mau larut dalam kesedihan yang dihembuskan oleh Lintah.
“Pokoknya saya benci pada manusia yang bermerek laki-laki. Benci…!” Buaya terlihat geram. Ekornya menampar-nampar lumpur.
“Ada apa Bung Buaya?” Kupu-kupu tak begitu senang Buaya memercik lumpur, takut kalau sayap-sayapnya yang mungil kena lumpur beracun.
“Manusia yang bermerek laki-laki itu tidak bertanggung jawab. Tidak jantan. Mereka selalu memperkosa namaku dengan sebutan buaya darat. Mereka seenakya saja mempermainkan perempuan. Kawin sana-sini tanpa peduli tanggung jawabnya sebagai suami, pun ayah.”
“Kasihan amat bangsa manusia yang bermerek perempuan.” Bunglon menyela.
“Tunggu dulu! Bangsa manusia tak perlu dikasihani. Laki-laki atau perempuan sama saja.” Kupu-kupu tidak senang dengan pernyataan Bunglon.
“Baik! Baik! Silakan dilanjutkan Bung Kupu-kupu!” Ketua sidang mencoba mengarahkan.
“Kalau Bung Buaya benci pada manusia yang bermerek laki-laki, saya sebaliknya. Saya benci merek perempuan. Mereka menjajakan dirinya di tempat-tempat pelacuran dengan menyebut dirinya sebagai kupu-kupu malam. Ih najis.” Kupu-kupu kelihatan bergidik dengan sayap berkepak-kepak.
“Wow! Menarik sekali. Bagaimana kalau Buaya bertemu dengan Kupu-kupu.” Burung Beo berkomentar bermaksud mencairkan suasana.
“Husy! Jaga mulutmu Beo!” Kompak Buaya dan Kupu-kupu memprotes.
“Maaf Bung Buaya dan Bung Kupu-kupu. Maksud saya bukan Buaya dan Kupu-kupu, tetapi lelaki buaya darat dan perempuan kupu-kupu malam.” Burung Beo membela diri.
Binatang lain tersenyum-senyum saja mendengarkan perdebatan burung Beo dengan Buaya dan Kupu-kupu. Sementara Kambing hanya terbengong-bengong. Ia memang tidak suka berbasah-basah apalagi dengan lumpur beracun. Tapi ketika ia bisa memahami maksud percakapan burung Beo, tiba-tiba ia kangen dengan betinanya yang jauh.
“Untuk mempersingkat waktu, selanjutnya saya persilakan Bung Bunglon.” Ketua sidang kembali mengarahkan sidang.
“Manusia memang selalu berkedok dengan kepalsuan dan kebohongan. Tidak bisa dipercaya. Hari ini bilang hijau. Kemarin bilang merah. Besok bilang abu-abu. Dasar manusia!” Bunglon terlihat emosi tapi ia cepat mengendalikan diri. Ia memang binatang yang gampang berubah bentuk.
“Apa maksudmu Bung Bunglon?” Lintah yang sedari tadi sangat sedih tertarik dengan cerita Bunglon.
“Begitulah manusia yang tidak punya pendirian lalu menamakan diri mereka sebagai bunglon. Saya kan berubah bentuk supaya yang berniat jahat padaku tidak mengenaliku. Saya cuma menghindar dari maut. Manusia? Mereka berubah-berubah sesuai dengan arah angin demi kekuasaan dan jabatan. Lalu, ketika mereka mendapatkan kekuasaan dan jabatan, mereka memperalat namamu Bung Lintah menjadi lintah darat.”
“Ketua sidang! Mohon dipercepat sidang, saya tak tahan dengan lumpur beracun.” Kambing menginterupsi.
“Baiklah. Selanjutnya saya persilakan burung Beo.” Kerbau kelihatan tidak begitu mahir memimpin sidang. Terkadang ia larut, bahkan hanyut terseret cerita peserta sidang.
“Manusia sangat kejam dan egois, mereka tahu bahwa burung Beo itu binatang, eh mereka malah memaksa kami berbicara dengan manusia….”
“Pantas saja nada bicaramu tadi memojokkan saya, ternyata kau dekat dengan bangsa manusia.” Buaya memotong pembicaraan burung Beo. Rupanya Buaya masih sedikit mendendam.
“Dengar dulu Buaya! Manusia itu curang. Kalau mereka berbicara dengan sesamanya, lalu salah satu dari mereka diam membisu, mereka menyebutnya mem-beo. Saya? Saya tidak pernah diam membisu kalau saya diajak berbicara sesama binatang. Dengan manusia? Pasti aku diam dong, karena saya tidak paham bahasa mereka.
“Oo…” Buaya rupanya sudah bisa memahami penjelasan burung Beo.
“Nah, kini tibalah saatnya kita mendengarkan pemaparan terakhir dari Bung Kambing.” Ternyata bukan hanya Kambing yang berharap sidang cepat selesai, Kerbau pun susah bernafas di lumpur beracun.
“Mungkin apa yang akan saya sampaikan ini adalah simpulan dari dosa-dosa manusia. Mereka mendzalimi bangsa binatang, terutama kita yang hadir disini dengan memakai nama kita sebagai tempat persembunyian kebohongan mereka. Mereka mengkambinghitamkan kita.”
“Tunggu dulu Bung Kambing, sayalah satu-satunya disini yang tidak dizalimi manusia.” Ketua sidang merasa namanya suci di mata manusia.
“Hehehe…siapa bilang Bung Kerbau. Manusia yang dulu memaksaku berbicara dengan manusia hidup serumah dengan pasangannya, padahal mereka bukan pasangan suami isteri. Lalu mereka menyebutnya kumpul kerbau (baca kumpul kebo).” Penuturan burung Beo seolah menusuk Kerbau.
Hadirin terkekeh-kekeh mendengar penuturan burung Beo. Sementara Kerbau hanya terdiam. Malu. Namun diam-diam ia membatin, “Dasar manusia!”
“Lalu hukuman apa yang kita timpakan pada manusia agar mereka jera bermaksiat? Kasihan negeri kita yang kena musibah akibat dosa-dosa manusia.” Kerbau kembali tegar mengarahkan sidang.
Hadirin terdiam. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mereka hendak menghukum manusia, tapi disisi lain mereka juga kasihan. Lalu burung Beo memberikan pendapatnya.
“Begini kawan-kawan! Bagaimanapun kita adalah bangsa yang beradab dan bertuhan. Olehnya itu, kita harus tunduk pada peraturan Tuhan. Kita harus tunduk dan rela dikuasai bangsa manusia. Semoga bangsa manusia juga mau tunduk pada peraturan Tuhan, serta mempergunakan akal sehatnya. Bukankah Tuhan telah memberikan banyak cobaan pada mereka dengan perantaraan kita. Penyakit tipes yang dikirim oleh Tikus. Penyakit demam berdarah yang dibiakkan oleh Nyamuk. Dan masih banyak lainnya. Termasuk yang paling menakutkan saat ini, flu burung.”
“Pendapat yang bagus dan bijak.” Kambing mengangguk-angguk sambil mengusap jenggotnya dengan kaki depan.
“Bagus! Bijak!” Koor yang lain.
“Bagus! Bagus!”

“Bagus! Bagus ceritanya Bu.”
“Ibu! Ibu! Aku mau pindah sekolah di Republik Indonesiana.”
Aku tergeragap. Tapi cepat aku menguasai keadaan. Segera kupeluk putraku tercinta. “Mengapa mau pindah sekolah di sana Nak? Bukankah sekolahmu di sini sekolah favorit, murid-muridnya hanyalah anak-anak pejabat dan pengusaha.”
“Aku ingin bersekolah di negeri beradab Bu, supaya kelak aku menjadi insan yang beradab. Lagian kalau aku sekolah di sini, aku malu diantar sama ayah.”
Aku makin tergeragap. Ternyata aku salah sangka dengan putraku. Ia begitu jauh memaknai ceritaku, padahal ia baru berumur enam tahun. Sebenarnya aku mendongeng, biar ia cepat tidur. Aku tak mau ia mengalami tekanan batin. Ia masih terlalu kecil. Ia tak boleh ikut larut dengan peristiwa yang menimpa ayahnya. Hakim memang sudah memutuskan tiga tahun penjara buat ayahnya karena kasus korupsi.

Jakarta, 2007
1. Cerpen “REPUBLIK INDONESIANA” dimuat Harian Fajar, Ahad 1 Juli 2007

Sabtu, 29 Januari 2011

Cerpen: B U N G A B U N D A

BUNGA BUNDA
Cerpen: dul abdul rahman

Pagi masih bening ketika rombongan satuan Polisi Pamong Praja datang merazia para pengemis dan anak jalanan. Melihat kedatangan kami, mereka berhamburan menyelamatkan diri masing-masing. Bayi-bayi dalam gendongan sebagai peluruh ngemisan menjerit-jerit miris. Sementara ibu mereka meraung-raung. Raungan mereka seperti menggaung menusuk hatiku. Entah anggota Polisi Pamong Praja yang lain.
“Jangan tangkap kami!”
“Kami tak mau mati kelaparan.”
“Kami butuh sesuap nasi.”
“Tenang! Tenang Bu! Kami tidak menangkap ibu, kami hanya mau menyelamatkan ibu, kami akan membawa ibu ke panti sosial.”
Rombongan satpol PP terus mengejar para ibu-ibu dan anak-anak yang berlarian. Saat-saat seperti ini memang satpol PP kelihatan lebih gagah perkasa menangkapi para orang-orang pinggiran, atau kami dari unsur pemerintah mencapnya sebagai sampah masyarakat.
“Jangan! Jangan!” Seorang ibu yang usianya sekitar lima puluhan meraung-raung saat petugas memegang kedua tangannya.
“Kami hanya akan membawa ibu ke panti sosial.”
“Jangan! Jangan pisahkan saya dengan anak-anakku!” Ibu itu terus meronta-ronta penuh derita.
“Kami juga sudah menangkap anak-anak ibu.”
“Tidak. Kalian bohong kalau menangkap anak-anakku karena pagi-pagi begini anakku belum mengemis.”
“Anak ibu dimana?”
“Masih di sekolah.”
“Sekolah?”
Entah. Mendadak tanganku lemas. Tak berdaya menangkap perempuan tua itu. Ia benar-benar kuat. Sekuat kemauannya untuk tetap menyekolahkan anaknya. Ia benar-benar perempuan yang berkemauan sekeras baja untuk melihat anaknya maju. Ia hanya mengemis karena memang mungkin hanya itu yang bisa ia lakukan. Hatiku mendadak trenyuh. Mendadak siluet kisah pilu membayang di mataku. Perempuan itu menatapku. Aku tak kuasa. Aku menunduk. Perasaanku kian teraduk-aduk.
“Ayo! Ikut kami perempuan tua, jangan lari!” Tiba-tiba seorang temanku datang menangkap perempuan tua yang meluah hiba di depanku itu.
“Jangan! Jangan!”
Perempuan tua itu terus ditarik kasar. Ia melirik ke arahku seakan minta tolong. Hatiku melolong. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku makin tak kuasa menatapnya. Aku menangis. Wajah almarhum bundaku yang pias bias di wajahnya.
“Jangan menangis ibu!”
Ucapku lemah. Nyaris tak terdengar. Tapi aku yakin perempuan tua itu bisa mendengar ucapanku. Kulihat ada semangat di matanya, semangat baja untuk masa depan anak-anaknya yang cerah. Lalu perempuan tua itu tersenyum kepadaku. “Luar biasa, ia masih bisa tersenyum meski terbias duka.” Batinku.
Tiba-tiba aku bangkit. Mengejar beberapa anak jalanan yang masih belum tertangkap. Aku harus menjalankan tugasku sebagai satpol PP bersama rekan-rekanku. “Bagaimanapun ini tugasku”, aku membatin menguatkan diri.
“Jangan tangkap kami Pak!”
Anak-anak it terus berlarian. Mereka sepertinya sudah terbiasa menghadapi kondisi seperti ini. Bahkan kelihatan wajah mereka tetap ceria, tak takut sama sekali. Berlari, menari, menyelinap di antara kerumunan orang. Aku tahu, dikejar-kejar petugas keamanan adalah seni anak jalanan. Bahkan belum sah rasanya jadi anak jalanan kalau belum pernah berkelit dari kejaran petugas keamanan. Maka tak heran banyak anak jalanan hanya tertawa-tawa ketika kukejar. Mendadak aku berhenti mengejar. Wajahku seperti dibawa berlari. Dan terus berlari ke masa aku masih kecil dan dekil. Tiba-tiba aku menggigil.

Ini hari, aku sedikit lelah bercampur resah. Aku ditugaskan kembali untuk merazia pedagang kaki lima di bibir jalan poros. Tetapi sebagai satpol PP, aku tak bisa membantah perintah atasan. Terpaksa aku melaksanakan tugas dengan setengah hati. Setengah hati lagi mengutuki diri. Aku tak mampu melihat wajah ibu-ibu yang meraung-raung atau berguling-guling supaya lapaknya tidak dirobohkan. Atau anak-anak menjerit sambil memeluk ibunya, karena takut menatap mata aparat keamanan yang galak.
“Jangan robohkan lapak kami!”
“Jangan angkut gerobak kami!”
“Tapi kalian melanggar peraturan.”
“Kami hanya mampu menjual disini. Kami tak bisa masuk mall. Kami tak mampu membayar retribusi.”
“Jangan hiraukan mereka, cepat angkat gerobak-gerobak mereka ke atas mobil.” Terdengar suara gemuruh komandan.
Tangisan, pun raungan ibu-ibu dan anak-anak mereka tak membuat para satpol PP kasihan, malahan mereka kesetanan, titah komandan harus dilaksanakan. Mereka meratakan lapak-lapak pedagang kaki lima. Tak tersisa.
Aku tak sanggup menyaksikan semua itu. Selalu saja saat-saat aku merazia para orang-orang pinggiran, selalu wajah almarhum bunda seolah menatapku. Seolah ia tak ikhlas dengan profesiku. Aku mencoba mendekati perempuan tua itu.
“Maafkan kami Ibu!”
“Semuanya perampok.” Perempuan tua itu masih emosi.
“Aku tak bermaksud melakukan semua itu Bu,” Ujarku lemah.
“Apa? Tak bermaksud? Pembohong, kalian sudah menghancurkan kehidupan kami.” Perempuan tua itu tersedu dalam tangis.
“Aku hanya menjalankan tugas Bu.” Aku tak sanggup menatap perempuan itu.
“Kalian telah menjadikan kami pengemis.”
“Pengemis?”
“Ya, kalian telah menghancurkan mata pencaharian kami, kami tak punya pilihan selain mengemis.”
Perempuan tua itu semakin meraung-raung. Aku semakin tak sanggup melihat perempuan itu. Refleks aku memeluknya.
Jangan menangis Ibu!”
Perempuan tua itu tiba-tiba terdiam. Ia seperti dipeluk oleh anaknya yang telah merantau jauh. Aku memang memeluknya penuh perasaan serupa aku memeluk bundaku dulu di peristiwa yang sama.
“Baiklah Nak. Tapi jangan tangkapi kami bila mengemis di jalanan.” Mendadak suaranya melembut. Benar-benar seperti suara bundaku.
Kali ini aku yang menitiskan airmata. Aku telah membuat perempuan itu jadi pengemis? Aku membatin dalam tangis. Untungnya rekan-rekan para satpol PP tidak melihatku. Kalau mereka melihatku mungkin mereka akan mencapku sebagai satpol pengkhianat. Tak taat pada amanat.
Akhirnya, penggusuran pedagang kaki lima selesai. Kami sukses menggusur lapak-lapak mereka tanpa ada perlawanan berarti. Rekan-rekanku sangat bahagia. Kami pasti akan mendapatkan tips dari pemerintah kota. Kami adalah adalah pahlawan-pahlawan di bidang ketertiban kota. Mungkin anggota satpol PP yang tidak begitu bahagia hanyalah aku. Dua hari jadwal menggusur dan merazia sangat menyiksaku. Aku seperti telah mengkhianati bunda, menyiksa bunda, menyiksa diriku sendiri. Padahal dulu sebelum jadi satpol PP, aku berjanji untuk tidak melakukan penggusuran.

Pagi masih bening ketika aku tiba di pemakaman bunda. Mendadak saja setelah kami mendapatkan penghargaan dari pemerintah kota karena sukses merazia para pengemis dan menertibkan pedagang kaki lima, aku kangen bundaku.
Di pusara bunda. Aku memohonkan ampun atas dosa-dosa bunda. Dosa-dosaku pada bunda. Aku menangis tersedu-sedu. Dalam hujan airmataku, terkenang masa-masa silam. Saat-saat hujan turun ketika para satpol PP menertibkan lapak bunda.
“Jangan dihancurkan lapak kami, kasihani kami, kami hanyalah seorang janda miskin yang menggantungkan hidup disini. Kasihan anak kami.”
“Jangan macam-macam perempuan tua! Kalau melawan, kami tak segan-segan menangkap kamu dan anakmu.”
“Kasihanilah kami.” Bunda meraung-raung. Aku yang saat itu tak tahu apa-apa hanya bisa memeluk bunda dalam tangis.
Tempo itu aku sangat membenci satpol PP. Aku merasa satpol PP lah yang paling kejam di dunia. Satpol PP yang membuat bunda jadi pengemis. Menurut bunda hanya profesi itulah yang bisa ia lakukan. Meski tetap akan dirazia lagi, tapi tak apa-apa kata bunda karena tidak ada kerugian apa-apa. Yang bunda waspadai jangan sampai ditangkap lalu dibawa ke panti sosial. Bunda takut berpisah denganku. Bunda akan menyekolahkan aku.
“Kamu harus sekolah Nak.”
“Tapi aku kasihan sama bunda.”
“Tidak. Kamu harus sekolah. Bunda sudah menabung untuk biaya sekolahmu, walau hanya sampai sekolah menengah, bunda rasa cukuplah modal buat cari kerja.”
“Biarlah bunda jadi pengemis saja, biar ada tambahan uang untuk keperluan sehari-hari. Bunda tak mau mengganggu biaya sekolahmu.” Bunda menghela napas. Meski napas bunda tersengal-sengal karena asma yang dideritanya kian akut, ia tetap kuat, sekuat kemauannya untuk menyekolahkan aku.”
Takdir telah membawaku sampai kesini. Sampai saat ini. Sebelum aku tamat SMU, bunda yang sangat kucinta meninggalkan aku untuk selama-lamanya. Aku sedih. Tapi aku berjanji untuk selalu mengingat pesan bunda. Dengan ijazah SMU disertai tekad yang membaja sebagai warisan dari almarhum ayah dan bunda, akhirnya aku diterima sebagai anggota satpol PP.
Aku menyeka airmataku, seperti aku menyeka airmata bunda. Kudekap pusara bunda penuh haru. Kucium bunga-bunga yang bermekaran di pusara bunda. Bunga-bunga itu akan selalu harum di hatiku. Mekar dijiwaku.
“Jangan menangis bunda!”
Aku melangkah jauh menuju kantor. Aku menoleh. Seolah batu nisan bunda tersenyum kepadaku. Tapi hatiku tetap galau. Takut hari ini ada jadwal menggusur atau merazia lagi.

Kendari-Makassar, 2008
1. Cerpen “BUNGA BUNDA” dimuat Harian Fajar, Ahad 1 Februari 2009

CERPEN: KELELAWAR

KELELAWAR
Cerpen: dul abdul rahman

“Tak mungkin saya akan mendapatkan jodoh lagi, Bondeng.”
“Bisa saja.”
“Mana ada laki-laki yang mau sama saya.”
“Kalau ada?”
“Tak mungkinlah.”
“Mungkin saja.”
Rabatang terus mengucek beberapa lembar pakaian. Sementara Bondeng tinggal membilasnya. Pagi ini Rabatang memang agak terlambat ke pancuran, tempat mandi dan cuci bersama di kampung itu.
Hari-hari terakhir ini memang Rabatang gelisah. Tiga hari berturut-turut ia mimpi berjalan di hutan, ia diberaki kelelawar. Menurut kepercayaan orang-orang di kampung itu, apabila seorang perempuan diberaki kelelawar berarti ia akan mendapatkan jodoh. Jodoh? Buat Rabatang, saat ini bukan jodoh yang ia tunggu-tunggu. Meski memang terkadang ada niat buat menikah lagi. Tapi dibenaknya saat ini hanyalah bagaimana ia bisa membesarkan dan berusaha menyekolahkan dua anak perempuannya. Buah cinta dari almarhum suaminya tercinta.
“Tapi itu cuma mimpi Bondeng. Menurut kepercayaan orang tua, nanti kita akan dapat jodoh kalau benar-benar diberaki.” Rabatang masih penasaran dengan mimpinya.
“Kalau begitu, mungkin laki-laki yang ingin melamarmu masih pikir-pikir dulu, ataukah….” Kalimat Bondeng menggantung.
“Atau apa?”
“Atau anakmu yang mau dilamar.”
“Anakku?”
Rabatang agak gelagapan. Ia memang tak pernah menghubungkan mimpi-mimpinya dengan anaknya. Ia ingin kedua anak perempuannya bersekolah dulu. Rasmitang, anaknya yang pertama sudah kuliah di Makassar. Sementara anak keduanya masih di bangku SMP yang kini menemaninya di kampung.
Rabatang memang beruntung. Almarhum suaminya yang meninggalkannya lima tahun silam meninggalkan tanah warisan yang cukup untuk menghidupi Rabatang dan kedua anaknya. Bahkan karena keuletannya berdagang coklat, kehidupan Rabatang lumayan cukup.
“Mungkin saja ada yang mau melamar anakmu. Rasmitang kan sudah besar, cantik pula.” Bondeng terus berceloteh. Soal gosip-bergosip, Bondeng memang jagonya. Ia bahkan digelari Bocar di kampungnya. Alias Bondeng Paccarita.
“Tidak Bondeng. Saya tidak mau menikahkan anakku dulu. Biar ia selesai dulu kuliahnya.”
“Kalau misal orang tua pacarnya datang melamar?” Bondeng terus mencecar.
“Saya jamin anakku belum berpacaran. Ia bukan perempuan kota yang begitu gampang berkenalan dengan laki-laki.”
“Eh, jangan salah! Anakmu sekarang bukan lagi perempuan desa.”
“Maksudmu?” Rabatang meresah.
“Sekarang ia tinggal di kota, berarati ia sudah jadi perempuan kota.”
“Tapi anakku tak mungkin berubah. Ia anak yang taat beragama. Lagian setiap bulan aku menelpon untuk menasehatinya.”
“Semoga anakmu tetap seperti yang dulu.”
Bondeng bergegas meninggalkan pancuran. Ia meniggalkan Rabatang seorang diri. Sementara Rabatang masih membilas cuciannya. Dalam hatinya ia berdoa, semoga anaknya di Makassar tidak macam-macam seperti yang diperkirakan Bondeng. “Dasar Bondeng, bocor bocar.” Ia tak suka dengan Bondeng yang selalu berprasangka jelek kepada anaknya.

Sudah dua tahun Rasmitang tinggal di kota. Tinggal setahun lagi ia akan menyelesaikan kuliahnya pada diploma kesehatan di sebuah perguruan tinggi swasta di Makassar.
Ada yang berubah pada diri Rasmitang sejak ia tinggal di sebuah rumah kost dekat kampusnya. Sebelumnya ia tinggal di rumah pamannya. Saudara kandung almarhum ayahnya. Tapi ia tida tahan. Ia ingin menikmati kebebasan tinggal di tempat kost seperti teman-temannya yang lain.
“Kasihan kamu Rasmi, masa tinggal di rumah paman, dipingit lagi.”
“Kamu tidak menikmati kehidupan mahasiswa ala anak kost, ceria selalu, bersama selalu, bersama….”
Propaganda teman-temannya, akhirnya membuat Rasmitang ngotot untuk tinggal di rumah kost. Meski pamannya melarang, tetapi ia tetap ingin tinggal di rumah kost dengan alasan dekat kampus plus menikmati kebersamaan.
Paman Rasmitang tak rela jika ponakannya tinggal di rumah kost. Selain karena ia tidak bisa mengawasinya, Rasmitang akan mengeluarkan lagi biaya, padahal ia tahu ponakannya hanya dibiayai seorang ibu, isteri almarhum adiknya. Tapi tatkala Rasmitang mendapatkan lampu hijau dari ibunya di kampung, paman Rasmitang hanya pasrah.
“Ibu percaya kamu Nak, yang penting jaga diri baik-baik.”
Rasmitang senang. Ibunya percaya kepadanya. Rabatang memang sangat percaya pada anaknya. Ia tahu Rasmitang adalah gadis pemalu pada laki-laki. Jadi tak mungkinlah ia akan macam-macam seperti yang dikhawatirkan oleh pamannya.
“Akh! Paman Rasmitang persis sama dengan adiknya mendidik anak, keras dan disiplin. Masa orang kota begitu caranya mendidik anak.” Celoteh Rabatang dalam hati. Sepertinya dialah yang lebih jago mendidik anak daripada almarhum suaminya dan iparnya.
Rasmitang benar-benar menikmati kehidupan barunya sebagai anak kost. Dulu, waktu masih tinggal bersama pamannya, biasanya jam sepuluh sudah tidur. Sekarang, ia menghabiskan waktu sampai larut malam. Bercanda ria, tertawa lepas. Tak ada lagi sikap tegas dari pamannya.
Sejak tinggal kost pula, biaya kuliah Rasmitang bertambah. Tak segan-segan ia meminta uang yang banyak pada ibunya.
“Biasalah Bu. Yang namanya mahasiswa semakin mau selesai semakin banyak dibayar. Ada acara praktek lapangan, acara pelatihan, acara….”
“Baiklah Nak, tapi kamu harus menghemat, dagangan coklat tidak seperti dulu lagi, di kampung sekarang sudah banyak tengkulak coklat dari kota.”
“Percayalah Bu.”
“Ibu percaya Nak. Yang penting berhemat, juga jaga diri baik-baik.” Nasehat klise Rabatang mengakhiri percakapan dengan anaknya.

Akhirnya Rabatang percaya omongan Bondeng bahwa bila perempuan diberaki kelelawar berarti ia akan berjodoh. Kalau hanya bermimpi saja, mungkin keluarganya yang akan berjodoh.
“Benar Bondeng, anakku memberitahu bahwa minggu depan ada yang akan melamarnya langsung di kampung ini.”
“Benarkah?”
“Pamannya juga mengatakan begitu.”
“Tak selesai kuliahnya dulu?”
“Maunya saya begitu, tapi pamannya bilang Rasmitang harus dinikahkan, dari dulu memang pamannya begitu. Maunya saja yang mau diikuti.”
“Benar-benar jodoh.” Bondeng bergegas meninggalkan pancuran. Hari sudah merangkak sempurna.
Ramai orang memperbincangkan berita pernikahan Rasmitang.
“Kalau sudah ada laki-laki yang mau, masa ditolak.”
“Kan ia masih kuliah.”
“Mungkin…”
“Mungkin apa?”
“Hush, nanti kedengaran sama Rabatang.”
Rabatang terus bergegas. Ia tak menghiraukan omongan para ibu-ibu yang mencuci di pancuran umum. Yang ia ingat sekarang, bagaimana mengambil keputusan nanti. Hatinya bimbang. Tapi akhirnya ia bersikeras bulat. Anaknya harus selesai kuliah dulu. Lelaki yang melamarnya harus bersabar. Titik. Rabatang tak mau kompromi.
Hari yang ditunggu Rabatang datang jua. Orang tua calon suami anaknya benar-benar datang. Yang membuat Rabatang sedikit kaget, karena paman Rasmitang datang bersama calon besannya.
“Dik Rabatang, saya bersama calon besanmu datang untuk membicarakan pernikahan anakmu.”
“Tapi saya belum mau menikahkan ponakanmu Daeng, nantilah kalau kuliahnya selesai.”
Paman Rasmitang terdiam. Begitu pula calon besan Rabatang. Tapi dicobanya untuk menyusun kata-kata yang tepat untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Semoga Rabatang bisa menerima kenyataan ini. Harapnya.
“Tapi Dik, pernikahan ini harus diadakan secepatnya sebelum….” Kalimat paman Rasmitang menggantung.
“Sebelum apa?” Rabatang tak mengerti.
“Sebelum anakmu melahirkan.”
“Me…me…melahirkan?”
“Kandungannya sudah tujuh bulan.”
“Tu..tu…tujuh…”
Kalimat Rabatang menggantung di kerongkongan karena ia mulai pingsan. Lalu gelap. Yang terbayang olehnya hanyalah sepasang kelelawar bercinta lalu menimpuki mukanya dengan tahi.

Makassar, 30.06.07

1. Cerpen “KELELAWAR” dimuat Harian Fajar, Ahad 6 Juli 2008

Rabu, 26 Januari 2011

Cerpen: LELAKI PEMATANG


LELAKI PEMATANG1
Cerpen: dul abdul rahman

            Bersama matahari pagi seorang lelaki berada di pematang memandangi bulir-bulir padi. Matanya menyapu hamparan persawahan yang membentang luas diantara lereng pegunungan. Tanah yang landai membuat pemandangan sawah seperti anak tangga yang menjulur ke bawah. Lelaki itu berdiri tepat di pematang paling atas. Matanya tak pernah berkedik. Sepertinya ia takut kehilangan panorama hamparan sawah yang indah walau sedetikpun.
            Ia berdiri tegak. Seperti memberi hormat kepada Dewi Sri agar bulir-bulir padi padat berisi. Ia mematung. Mutung. Angin pagi yang hanya sepoi-sepoi mengibarkan helai rambutnya yang tak pernah tersentuh sisir. Wajahnya tirus. Tak terurus. Kelihatan pakaiannya agak basah. Embun pagi telah memandikannya.
            Aku mengawasinya dari jauh. Aku tak berani mendekatinya seorang diri.
            “Apakah orang itu waras?” Tanyaku pada seorang petani yang kujumpai.
            “Yang mana?”
            “Lelaki yang di ujung sana.”
            “Lelaki yang menghadap ke timur itu?”
            “Benar.”
            “Oo…orang disini mengenalnya sebagai lelaki pematang.” Petani itu menjawab geragapan. Seperti ada rahasia.
            “Ada apa Pak?”
            “Ta…tak apa-apa Nak. Tapi jangan tanya saya, tanya pada orang itu.” Katanya menjauh sambil menunjuk seseorang tetua yang datang ke tempat kami berada.
            Rupanya yang datang adalah seorang tetua yang cukup disegani di kampung itu. Dari raut wajahnya, jenggot yang sudah memutih dan memanjang, aku bisa meraba-raba seperti apa orang tua itu. Ia memang dikenal pintar dan menguasai ilmu gaib. Syukurlah. Ada tempatku bertanya mengenai lelaki yang misterius itu.
            “Sudah sepuluh hari aku melihatnya mematung di situ Pak.”
            “Berarti baru sepuluh hari disini Nak.”
            “Maksud Bapak?”
            “Lelaki itu sudah bertahun-tahun disitu.”
            “Bertahun-tahun?”
            “Sudah sepuluh tahun.”
            “Setiap hari?”
            “Setiap hari disaat padi berbuah. Lelaki itu hanya datang bersamaan munculnya bulir-bulir padi. Ia datang menjelang matahari terbit. Lalu menghilang ketika matahari naik sepenggalah. Esoknya datang lagi lalu menghilang. Terus menerus. Hingga menjelang panen, ia benar-benar menghilang. Tapi musim berikutnya, ia akan muncul bersamaan munculnya bulir-bulir padi.”
            “Apakah orang-orang disini tidak takut Pak?”
            “Ada yang takut, ada juga tidak.”
            “Jadi?”
            “Jadi begitulah. Biasanya petani yang takut akan turun melihat sawahnya selesai sholat dhuha disaat lelaki itu sudah menghilang. Bagi yang tidak takut tetap seperti biasa. Mereka menganggap biasa lelaki itu.”
            “Tapi mengapa orang disini tidak berusaha mengusir lelaki itu Pak?”
            Diam. Orang tua itu hanya mengangkat jari telunjuk ke mulutnya. Aku tahu maksudnya. Orang tuaku berlaku serupa bila aku menanyakan hal-hal yang berbau pamali. Aku juga diam. Beberapa jenak kemudian, orang tua itu melanjutkan ceritanya dengan suara yang melemah.
            “Nak! Kami sudah menganggap lelaki itu adalah utusan Dewi Sri.”
            “Dewi Sri?”
            “Ya, bahkan seandainya ia adalah perempuan, kami pasti sudah menganggapnya jelmaan Dwi Sri.”
            “Mungkin Dewa Sri, Pak.”
            Aku tak bisa menahan keceplas-ceplosanku. Tapi kulihat orang tua itu tak terpengaruh dengan omonganku. Ia melanjutkan ceritanya. Aku semakin tertarik mendengarnya. Amat tertarik. Gaya bertutur orang tua itu mengingatkan aku pada almarhum kakek yang bijaksana. Tidak seperti ayah, yang setiap ucapannya bagaikan titah dan sabda bercampur pamali. Bahkan suara orang tua yang lembut itu bagaikan angin sepoi-sepoi yang menyingkap tirai hidupku.
            “Kami benar-benar menganggapnya utusan Dewi Sri, Nak.”
            “Pernah dulu kami bermufakat untuk mengusir lelaki itu. Tapi kami baru berencana, lelaki itu sudah menghilang. Semusim lelaki itu menghilang. Tapi kami semua beroleh celaka. Selama musim itu panen kami gagal total. Padi diserang hama yang mengganas. Burung pipit, wereng, pun tikus memorak-morandakan padi kami. Kami tak bisa mengatasinya meski kami melakukan penjagaan ketat. Lalu…” Orang tua itu kelihatan sedih mengingat masa-masa gagal panen.
            “Lanjutkan Pak!”
            “Musim selanjutnya kami berkumpul memohon kepada Yang Maha Kuasa agar panen kami tidak gagal lagi. Agar kami tidak kelaparan lagi. Kami berjanji akan menjadi warga yang baik, tidak mengusir siapa saja yang datang ke kampung kami, akan menjaga kelestarian alam kami. Akhirnya kami semua bersyukur, panen padi kami semakin melimpah seiring dengan munculnya juga lelaki itu. Kami benar-benar berterima kasih pada lelaki itu.”
            Orang tua itu melirik kepada lelaki yang berdiri mematung di sana. Aku juga melirik. Kami sama-sama kaget.
            “Matahari memang sudah naik sepenggalah.”
            Aku mengerti maksud orang tua itu. Tapi aku masih sedikit penasaran dengan lelaki itu. Seberapa hebatkah ia, lalu bisa menentukan baik-buruknya panen. Mungkinkah aku bisa mengenalnya? Mengapa penduduk disini tidak berusaha mendekati dan mengenalnya. Aku memang sudah membaca dongeng Dewi Sri sebagai dewi padi, dewi kesuburan. Tapi bukankah itu hanya dongeng?
            “Nak! Saat-saat seperti ini, ketika matahari naik sepenggalah, pendududk akan turun memeriksa sawahnya, membersihkan rumput yang tumbuh di pematang, termasuk saya Nak.”
            “Tapi mohon waktunya sebentar lagi Pak.”
            “Apa belum jelas tadi Nak?”
            “Begini Pak, apakah aku boleh mengenalnya secara dekat. Kalau boleh biarlah besok aku langsung menemuinya.”
            “Hush!”
            Sekali lagi orang tua itu meletakkan telunjuk di mulutnya. Orang-orang memang sudah mulai berdatangan ke sawah.
            “Nak! Lelaki itu tak mungkin didekati. Ia akan menghilang kalau kita dekat. Ia hanya nampak dari kejauhan.”
            “Seperti pelangi Pak?”
            “Mungkin Nak. Tapi jangan coba-coba berniat mendekatinya, nanti kau beroleh celaka.”
            Orang tua itu menjawab sambil bergegas meninggalkan aku. “Ih!” Aku juga bergidik mendengar cerita orang tua itu.
            Matahari telah merangkak lewat sepenggalah. Ramai orang bekerja di hamparan sawah itu. Ada yang mencabuti rumput. Ada yang mengecek lubang, takut kalau ada tikus yang bersarang. “Akh!” Pantas saja desa ini surplus beras karena penduduknya tiap hari mendekam di sawah.” Aku membatin memuji sambil meninggalkan area persawahan yang luas itu.
            Meski aku seorang perempuan, aku tetap menikmati profesiku sebagai penyuluh pertanian di desa ini. Senang rasanya aku bisa mengenal lingkungan pedesaan.
            Sepuluh tahun berjalan aku tinggal di desa ini. Aku begitu bahagia. Lahan-lahan pertanian menghijau, menghampar. Benarlah kata orang-orang Eropa sana bahwa apapun yang ditanam di negeriku akan tumbuh subur. Ya benar.
            Hanya satu hal yang belum berubah di kampung ini. Kuasa orang tua terhadap anak gadisnya begitu mengcengkeram. Geram aku bila mengingatnya.
            “Ia tidak sepadam denganmu Halimah, kau anak ayah, pemangku adat di kampung ini.” Nada ayah begitu meninggi ketika kuberitahu tentang kekasihku yang ingin melamarku.”
            Tempo itu aku diam saja. Tak berani menentang ayah.
            “Tapi kalau memang ia mau melamarmu, beritahu ia supaya menyiapkan uang panai lima puluh juta serta satu hektar sawah. Kalau ia tidak bisa memenuhi persyaratan itu, jangan coba-coba ia datang kemari.” Titah ayah kala itu.
            Terpaksa kuberitahu kekasihku, biar ia menyiapkan segalanya. Keperluan menikah. Aku menunggunya datang melamarku. Terus menunggu. Sebulan kemudian aku mendengar berita. Seorang pemuda bunuh diri di pematang sawah. Pemuda itu berencana menikah dengan gadis pujaannya, namun ia tidak bisa memenuhi persyaratan yang diajukan ayah dari perempuan yang dicintainya.
            Akh! Semuanya telah berlalu. Dan terus berlalu. Membawaku. Menjemputku. Kembali di desa ini untuk mengabdi. Sampai nanti. Mungkin sampai mati.
            Sekarang aku sudah tua, bukan seperti dua puluh tahun yang lalu, ketika aku menjadi rebutan para mahasiswa di kampusku. Mungkin memang orang menganggapku sangat kesepian hidup sendiri. Mereka salah. Memang ketika aku masih dinas di kota, aku kesepian. Makanya aku pindah berdinas di desa ini. Membangun desa ini. Pun, untuk menemani almarhum kekasihku. Aku yakin ia tidak bunuh diri. Ia cuma menjelma jadi Dewa Sri. Kelak aku ingin menjelma jadi Dewi Sri. Biar kami menyatu seperti dulu. Bersatu memakmurkan desa ini.

Sinjai, Desember  2007  
 
1. Cerpen “LELAKI PEMATANG” dimuat Harian Fajar, Ahad 30 Maret 2008
  

Selasa, 25 Januari 2011

Cerpen: BILAKKADDARO


BILAKKADDARO1
Cerpen: dul abdul rahman

            “Jangan Nak! Hari itu bilakkaddaro.”
            Selalu begitu jawaban bunda bila aku ingin melakukan sesuatu pekerjaan. Bunda memang tak pernah berubah. Ia masih percaya kepada kepercayaan moyang. Orang tetua Bugis selalu melarang melakukan sesuatu dengan alasan bilakkaddaro, hari sial.
            “Lha, Bunda! Sekarang kan sudah zaman modern.”
            “Tetapi hati bunda tak pernah berubah.”
            “Maksud Bunda?”
            “Bilakkaddaro.”
            Bunda memang selalu tak mau kalah bila aku mendebatnya soal kepercayaan orang-orang tua dulu. Bahkan ia terkesan meremehkan aku.
            “Ingat! Kau lahir karena bunda.”
            “Bunda!”
            Terang saja aku mengalah kalau bunda menyinggung soal lahir-melahirkan. Aku tak pernah mengingkari kalau aku memang ada karena bunda. Cuma mestinya bunda sadar aku diberi akal yang boleh bebas berpikir kreatif, kritis, yang penting positif. Tapi aku tetap sayang bunda.
            Bunda ya bunda. Tak ada duanya bagiku. Ia benar-benar pahlawan. Ayah telah meninggalkan kami untuk selama-lamanya sewaktu aku masih dalam gendongan bunda. Pesan terakhir ayah pada bunda, agar aku di jaga baik-baik, disekolahkan tinggi-tinggi, biar menjadi insan yang berguna, sekaligus pelanjut marga ayah dan bunda.
            Bunda adalah perempuan yang amanah. Ia tetap memegang teguh wasiat almarhum ayah. Sampai-sampai bunda tak mau menikah lagi, dengan alasan ia hanya ingin fokus membesarkan dan menyekolahkan aku. Padahal menurut cerita para tetangga, ketika bunda telah menjanda banyak laki-laki yang datang melamar bunda. Bunda memang terkenal sebagai primadona desa waktu masih muda. Mereka mengiming-imingi bunda dengan harta yang melimpah. Rumah mewah. Kendaraan pribadi. Bunda bergeming. Kata bunda. Ia tak bisa menerima semua itu. Bunda tak tega. Wajah ayah masih ada di pelupuk bunda. Wajah ayah dan wajahku memang bagaikan pinang dibelah dua.
            Sebenarnya aku sedikit menyayangkan sikap bunda. Mengapa harus menolak menikah hanya gara-gara mau fokus menyekolahkan aku. Bukankah dengan menikah dengan tuan tanah misalnya, ia akan hidup tenang dan tetap menyekolahkan aku.
            “Bunda sudah bahagia.”
            “Tapi bunda kesepian.”
            “Kan ada titisan ayahmu.”
            “Ayah?”
            Bunda memeluk dan mencium keningku. Airmata bunda bagai embun pagi membasahi pipiku. Sejuk. Bagaikan tetesan mata air surga. Kudekap bunda penuh hormat dan sayang.
            Akhirnya tekad bunda menjadi nyata. Aku bisa sekolah tanpa bunda harus ngutang sana-sini. Lalu. Aku bisa kuliah. Bunda ngotot aku kuliah. Bunda rela melakukan apa saja. Menjual kue atau pisang goreng di kantin sekolah dekat rumah. Macam-macam usaha bunda. “Yang penting halal.” Begitu tekad bunda selalu.
            Karena kesibukanku, tak pernah lagi aku menjenguk bunda di kampung halaman enam bulan terakhir ini. Sebagai manajer perusahaan, aku memang supersibuk. Meeting ini, meeting itu. Jakarta-Bali-Singapura adalah trayek rutin sebulan. Bahkan terkadang dua atau tiga kali sebulan.
            Tapi sebagai anak yang berbakti, aku tetap mengirim uang setiap bulan untuk keperluan bunda di kampung. Sejak kuliah sampai aku bekerja, aku memang tinggal di kota. Bunda tetap di kampung. Pernah aku mengajaknya tinggal di kota saja. “Bunda tak mau meninggalkan makam ayahmu.” Selalu begitu kelit bunda.
            Aku sangat sayang bunda. Cuma belakangan ini aku malas bicara sama bunda. Dulu sewaktu aku masih di kampung, aku masih bisa mengikuti jalan pikiran bunda yang selalu bertabur bilakkaddaro dan pamali. Sekarang semua pemikiran bunda kuanggap hanya takhyul belaka.
            “Pamali, Nak.”
            “Hari itu bilakkaddaro, Nak.”
            “Oh hari itu pas ahad awal bulan Muharram.”
            Bunda terus berceloteh. Aku hanya mengiyakan bunda. Tapi jauh dalam hatiku memvonis semua ucapan bunda takhyul semata.
            “Semua hari itu baik bunda.”
            “Tidak semua.”
            “Bilakkaddaro.”
            Aku hanya diam. Kalau bunda menyebut bilakkaddaro, tak bisa lagi aku bantah. Bunda sangat percaya itu. Sejak dulu.
            Aku jengah. Aku tak mau berkonsultasi lagi dengan bunda bila aku ingin mengerjakan sesuatu, atau ingin bepergian jauh. Aku takut bunda mempersempit waktu dan gerak langkahku. Bila aku menelpon bunda, bukan lagi tentang aku yang kubicarakan, tetapi tentang bunda, bagaimana kabar bunda, kabar tetangga. Biar bunda tetap senang.
            “Bunda sangat bahagia. Hati-hati! jangan bepergian jauh di saat hari bilakkadaro.”
            “Ingat itu Nak!”
            “Pamali.”
            Hanya bunda yang berceloteh menutup pembicaraan kami di telpon. Aku hanya diam saja.
            “Aku baik-baik saja Bunda.”
            “Tapi suaramu agak serak Nak.”
            “Biasalah bunda, masuk angin biasa saja, besok juga sudah sembuh.”
            “Hati-hati Nak ya, jangan dulu bepergian jauh.”
            “Tak kemana-manalah, Bunda.”
            Bunda terus merisaukan aku disana. Aku terpaksa berbohong kepada bunda bahwa aku tak kemana-mana. Padahal, sekarang aku berada di bandara menuju Singapura via Jakarta. Kalau kuberitahu, bunda pasti resah dan melarangku.
            “Oke Nak ya, jaga diri baik-baik.”
            “Iya bunda.” Klik.
            Aku lega bisa komunikasi dengan bunda. Tapi mendadak aku resah telah membohongi bunda. Mengapa tadi aku tidak terus terang sama bunda? Kalau bunda melarangku, cukup aku bilang terpaksa berangkat karena sudah berada di bandara. Bunda pasti bisa mengerti, mendoakan malah. Kenapa aku tak minta restu dan doa bunda? Pertanyaan-pertanyaan bernada penyesalan menyeruak di benakku seketika.
            “Hati-hati Nak ya, jangan dulu bepergiaan jauh.”
            Suara pemandu keberangkatan pesawat seperti suara bunda yang melarangku bepergian jauh. Aku segera berbenah. Pesawat segara mengudara.
            Kulihat para penumpang bersegera naik pesawat. Tergesa-gesa seperti takut ketinggalan. Entah kali ini aku tidak bersemangat. Kalimat-kalaimat tak berujung pangkal kontraksi di benakku, kalimat bunda, ulasan koran minggu lalu mengenai transportasi udara kita.
            “Bilakkaddaro Nak.”
            “Komisi Uni Eropa melarang maskapai penerbangan Indonesia terbang ke Negara-negara Eropa.”
            “Maskapai penerbangan Indonesia menggunakan pesawat-pesawat yang pantasnya sudah jadi gerobak. Orang Indonesia benar-benar pemberani.”
            Di atas pesawat, aku tak bisa berpikir apa-apa lagi. Mendadak kepalaku pening. Bunyi pesawat seperti auman setan. Sangat bising. Aku benar-benar pusing. Selanjutnya semua tak begitu jelas. Pandanganku masih berkunang-kunang ketika mendadak terdengar pengumuman. “Pesawat akan segera kembali ke bandara. Pasang seat belt.”
            Berita terhempasnya pesawat di Bandara Hasanuddin setelah mengudara selama tiga belas menit dimuat oleh beberapa Koran harian di daerah ini. Tidak ada korban yang meninggal pada kejadian tersebut, hanya lima orang dilarikan ke rumah sakit karena cedera. Seorang penumpang yang bernama Sulaeman masih tak sadarkan diri di Rumah Sakit Dokter Wahidin.
            “Apakah Pak Sulaeman bisa mendengar suara saya?”
            “I…ini siapa?”
            “A…aku dimana?”
            “Pak Sulaeman sedang di rumah sakit.” Seorang perempuan berpakaian putih-putih tersenyum kepadaku. Lalu. Aku benar-benar siuman. Matataku terbelalak.
            “Bunda…!”
            “Anakku!”
            Bunda memelukku erat. Agak lama. Kurasakan mata bening bunda mengembun. Lalu menetes membasahi pipiku.
            “Maafkan aku, Bunda.”
            “Kau tak bersalah Nak.”
            “Aku berbohong sama bunda.”
            Bunda menyeka airmatanya. Lalu. Telapak tangan bunda yang mengeras mengusap pipiku. Tapi kurasakan tangan bunda seperti tangan bidadari.
            “Sebenarnya bunda tidak memaksamu percaya yang namanya bilakkaddaro. Bunda hanya ingin kau percaya sama bunda. Apa susahnya berkonsultasi dulu sama bunda sebelum berangkat. Bunda juga percaya semua hari itu baik. Hanya Tuhanlah yang tahu segalanya. Tapi mungkin yang kau lupa bahwa sesungguhnya ridho Tuhan itu terletak pada ridho bunda.
            “Bunda.”
            Aku memeluk erat bunda. Kasih sayang bunda padaku tak pernah berubah. Akulah yang berubah sama bunda. Sekarang aku baru tahu. Sesungguhnya bunda juga tidak begitu percaya bilakkadaro lagi seperti dulu. Tapi aku berjanji suatu ketika bila bunda mengatakan padaku bahwa hari itu bilakkaddaro, aku akan percaya sama bunda. Hanya sama bunda.

Makassar, 2007

1. Cerpen “BILAKKADDARO” dimuat Harian Fajar, Ahad 12 Agustus 2007