Selasa, 23 Agustus 2011

cerpen dul abdul rahman LEBARAN DI SURGA

LEBARAN DI SURGA
Oleh: dul abdul rahman

“Mama! Lebaran nanti kita buat masakan yang enak kan.”

“Horeee…! Kita akan makan enak karena lebaran sebentar lagi.”

Selalu begitu celotehan si kembar Saribulang dan Saribanong kepada ibunya menjelang lebaran.
Kali ini Samintang menatap putri kembarnya nanar. Tangannya gemetar memegang surat dari suaminya yang dibawa oleh Bajide, teman seprofesi suaminya yang jadi TKI di Malaysia. Samintang berharap selain surat mudah-mudahan ada juga lembaran rupiah untuk membeli baju lebaran putri kembarnya, atau minimal pembeli daging untuk menu lebaran. Tapi ia ranap karena surat itu hanyalah berisi selembar kertas dan sebuah foto kusam suaminya. Hatinya kian ratap manakala ia baca surat suaminya yang tak bisa mengirim apa-apa karena setahun ia jadi TKI tapi belum menerima sepersen pun gaji. Katanya ia “dijual” oleh Taikong Lamakking yang membawanya ke Malaysia. Samintang yang mengira Malaysia adalah ladang emas, ternyata kini hanyalah ladang cemas baginya.

“Lebaran nanti kita masak apa?”

“Gulai ayam.”

“Gulai kambing yang lebih enak.”

“Gulai ayam yang lebih sedap.”

Celoteh putri kembarnya kian membakar kesedihan Samintang. Ia memang sudah menjanjikan kepada putri kembarnya untuk membuat masakan enak saat lebaran nanti. Janji ini sebenarnya hanyalah janji alibi ketika putri kembarnya merayu-rayu minta dibelikan baju baru.

“Mama! Aku mau baju baru seperti baju barunya Salma.”

“Mama! Kalau aku seperti baju barunya Salwa.”

Samintang terdiam sejenak. Ada kelam tiba-tiba menggantung di wajahnya ketika Saribulang dan Saribanong ingin dibelikan baju baru seperti baju baru milik Salma dan Salwa, putri kembar Haji Loppo yang seorang pengusaha sukses. Jangankan membeli pakaian apalagi pakaian mahal serupa pakaian Salma dan Salwa, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja Samintang terkadang harus pontang-panting mengutang sana-sini. Upahnya yang hanya sebagai tukang cuci harian tidaklah mencukupi, apalagi belakangan ini harga sembako kian melonjak sedangkan upah mencuci semakin menyusut. Samintang harus menerima kenyataan ini. Orang-orang yang tempatnya menggantung nasib tidak bersedia mempekerjakan orang lain untuk mencucikan pakaian mereka untuk menghemat kas keuangan rumah tangga akibat harga kian melonjak. Tapi Samintang tetap meminta dipekerjakan walau diupah seminim mungkin.

“Bagaimana Mama? Kalau Mama tidak suka model bajunya Salma dan Salwa lebih baik seperti model bajunya Rima dan Rina saja.” Saribulang mengusul diamini Saribanong dengan anggukan sambil sesunggukan.

Samintang masih terdiam. Tatapannya masih terus tertancap pada foto kusam suaminya yang tertawa lepas seperti menertawai dirinya sendiri yang sudah setahun bekerja di Malaysia tapi belum menerima gaji. Samintang seperti meminta jawaban dari suaminya atas permintaan baju baru putri kembarnya. Tapi sekali lagi Samintang hanya meranap ketika menyaksikan foto suaminya yang hanya memakai sarung yang ujung bawahnya menggelambir hingga ke lutut, serta baju dalam yang bolong-bolong dan sandal jepit yang bukan lagi pasangannya. Foto suaminya benar-benar sebagai surat non-verbal seorang TKI yang teraniaya di Malaysia. Kalaupun dalam foto itu suaminya tersenyum, tetapi sesungguhnya senyum itu semata-mata diperuntukkan untuk isteri dan putri kembarnya tercinta. Bukan pada yang lain.

“Gimana dong Ma? Masak mama tak suka model baju baru Salma dan Salwa.” Saribulang protes.

“Mama sepertinya tak mengikuti perkembangan mode, masak model bajunya Rima dan Rina juga tak disukai?” Si bungsu Saribanong ikut protes.

Samintang menarik nafas panjang. Ia menyimpan foto dan surat suaminya yang sama sekali tak bisa membantunya melepaskan diri dari jeratan dan jeritan kemiskinan. Ia lalu menatap kedua putri kembarnya dengan tersenyum. Seperti senyum suaminya. Senyum kegetiran. Kegetiran dari tirani kehidupan yang tak terperikan.

“Menurut Mama, model baju baru milik Salma dan Salwa juga Rima dan Rina tak cocok buat Nak Bulang dan Nak Banong. Kalian berdua masih nampak cantik dengan baju baru yang dipakai lebaran tahun lalu.”

Samintang berharap kedua putrinya percaya padanya. Lagian baju lebaran Saribulang dan Saribanong sudah diberi pewarna wantex sehingga warnanya terang cemerlang. Baju baru yang dipakai dua pasangan kembar yang disebutkan anaknya tadi hanya bisa ia beli dengan menabung semua upah mencucinya selama lima bulan. Baju baru Rima dan Rina juga semahal dengan baju baru Salma dan Salwa. Rima dan Rina adalah putri kembar Haji Lolo. Haji Lolo adalah adik kandung Haji Loppo yang juga saudagar sukses.
Kedua putri kembarnya terdiam. Samintang memang sangat senang karena kedua putrinya tidak banyak menuntut bila sudah diberi penjelasan. Kedua putri kembarnya memang seumpama dua bidadari kecil yang diutus Tuhan dari surga untuk menghibur kemiskinannya.

“Nah! Anak mama tercinta, meski nanti baju lebarannya tetap seperti lebaran tahun lalu tapi lebaran kali ini kita akan membuat masakan yang lebih enak.” Samintang mencoba menghibur kedua putri kembarnya yang terdiam karena tak bisa memakai baju lebaran model Salma dan Salwa.

“Hore…! Kita akan menikmati makanan enak.” Koor celotehan Saribulang dan Saribanong membuat Samintang tersenyum. Tapi cuma senyum dikulum. Karena di Bulan Ramadan kali ini tak ada pesanan pakaian untuk dicucinya. Padahal harga daging pun semakin mahal.

Sudah menjadi acara rutin setiap tahunnya menjelang lebaran, dua bersaudara saudagar sukses Haji Loppo dan Haji Lolo membagi-bagikan zakat kepada kaum duafa secara langsung. Mereka khawatir bila pembagian zakat lewat badan amil zakat yang sudah dibentuk pemerintah, zakatnya tidak akan sampai ke kaum duafa. Kalau pun sampai mungkin sudah terjadi penyunatan. Apalagi mereka membagikan zakat dalam bentuk rupiah. Naluri bisnis yang kuat dari kedua saudagar tersebut mencium gelagat bisa saja zakat itu diendapkan di bank dulu. Sayangnya, prasangka dari kedua saudagar tersebut terkadang tidak memikirkan faktor lain yang bisa mendatangkan mara bahaya. Bahkan prasangka negatif kepada badan amal zakat sesungguhnya dilandasi oleh keinginan mereka untuk membagikan sendiri zakatnya secara langsung. Mereka ingin menasbihkan kepada publik bahwa mereka adalah orang kaya.
Masih pagi ketika Samintang tiba di rumah Haji Loppo dan Haji Lolo, tapi ia masih kalah cepat dengan para calon penerima zakat lainnya. Meski acara pembagian zakat dimulai jam sepuluh tapi calon penerima zakat sudah berdatangan sejak jam enam pagi. Bahkan banyak calon penerima zakat yang berasal dari luar kota yang datang selepas shalat subuh. Mereka khawatir tidak kebagian zakat.
Samintang sangat berharap bisa mendapatkan zakat untuk membeli daging sebagaimana janjinya pada kedua putri kembarnya. Tapi sudah hampir empat jam lamanya Samintang menunggu, pembagian zakat belum dimulai. Samintang melihat orang-orang yang ingin menerima zakat terus berdatangan seperti ingin menonton acara dangdutan pilkada. Sambil menunggu, Samintang sedikit menggerutu. Mengapa ia harus antri berlama-lama dan berpanas-panasan menunggu zakat yang tidak cukup untuk membeli satu kilo daging sapi. Bukankah rumahnya hanya berjarak seratus meter dari rumah kedua Puang Haji tersebut. Samintang berandai-andai, andai dirinya kelak punya harta yang berkecukupan, ia akan mendata orang miskin di wilayahnya lalu membagikan zakat dari pintu ke pintu. Samintang akan mengikuti model badan amil zakat tapi ia juga tak bermaksud menyerahkan zakatnya pada badan tersebut karena pembagian zakat yang dilakukan badan itu menurutnya tak becus, buktinya meski ia tergolong orang miskin tapi tak pernah sekalipun mendapat zakat lewat badan zakat tersebut.

“Harap tenang! Pembagian zakat segera dimulai”

Pengumuman lewat pengeras suara membuyarkan angan-angan Samintang jadi orang kaya yang akan membagikan zakat. Haji Loppo dan Haji Lolo memberikan sambutan seolah mengundang Malaikat Raqib untuk mencatat amal zakatnya.

Pembagian zakat pun dimulai. Acara yang awalnya tertib tiba-tiba menjadi kacau balau karena orang-orang berebutan ke depan karena takut tak kebagian zakat. Samintang juga berusaha sekuat tenaga menembus ke depan agar janjinya kepada kedua putri kembarnya terpenuhi. Tapi tubuh Samintang mendadak lemas. Ia tak sanggup menahan himpitan kerumunan orang yang berdesak-desakan ingin menerima zakat. Tubuh ringkih Samintang tak sanggup melawan sibakan segerombolan penerima zakat yang sudah dilihatnya maju dua kali. Artinya ada sebagian orang yang sudah menerima pembagian zakat dua kali sedangkan Samintang belum bisa mencapai deretan bangku depan tempat Haji Loppo dan Haji Lolo membagikan zakat.

“Tenang! Tenang!”

“Semprot air!”

Aba-aba dari arah depan mencoba menenankan dan mendinginkan suasana. Tapi penetrasi dari orang-orang dari belakang kian tak terkendali. Samintang dan beberapa perempuan tua kian terjepit dan tak bisa bernapas. Samintang kian mengendap-endap. Cahaya matahari yang terik, apalagi ia sedang berpuasa membuat napasnya semakin megap-megap. Lalu. Samintang benar-benar tak sanggup lagi. Ia terjatuh. Lalu segerombolan penerima zakat yang ingin menerima dobel kian merengsek maju ke depan. Tubuh Samintang dan beberapa tubuh perempuan tua lainnya terinjak-injak.

“Bulang…! Banong...!”

Dalam sisa desah napasnya Samintang hanya bisa berteriak sebisanya memanggil kedua putri kembarnya tercinta. Lamat-lamat suaranya menghilang disumbat maut. Malaikat maut bergegas datang menjemputnya.


Di sebuah gubuk yang reyot. Dua bocah kecil Saribulang dan Saribanong ketiduran menunggui ibunya yang pergi menerima zakat di rumah Haji Loppo. Tiba-tiba keduanya terbangun.

“Kak, aku mendengar suara mama yang memanggil-manggil kita berlebaran di surga.” Saribanong menatap kakaknya.

Saribulang memeluk adik kembarnya dengan sesunggukan, karena ia juga terbangun karena panggilan ibunya. Keduanya berangkulan pilu sambil mengharap ibunya segera pulang ke rumah. Sementara itu, Malaikat maut yang pulang selepas menjemput ajal ibu kedua anak kembar tersebut memalingkan wajah ketika lewat gubuk reyot itu. Ia tak sanggup melihat tangisan kedua bocah itu bila mengetahui ibu mereka telah meninggal dunia.

Sabtu, 06 Agustus 2011

Tips menulis dul abdul rahman:

SIAPA ITU PENULIS?

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis,
ia akan hilang dalam masyarakat dan sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian…”
(Pramoedya Ananta Toer)

“Siapakah itu penulis?”

Penulis adalah orang yang menulis.

“Kalau tidak menulis?”

Tentu saja dia bukan penulis. Tapi kalau ia berniat menulis maka ia adalah calon penulis. Kalau ia tak pernah berniat menulis dan ingin jadi penulis maka ia bermimpi jadi penulis. Begitulah Kawan! Masakan ada penulis tapi tidak menulis. Makanya menulislah sekarang ini juga supaya kamu bisa disebut penulis.

“Bagaimana caranya menjadi penulis?”

Satu-satunya cara untuk menjadi penulis adalah dengan menulis hari ini juga. Ambil buku atau kertas dan pulpen, atau nyalakan komputer atau laptop Kamu, kemudian tuangkan isi kepala dan perasaan Kamu. Kalau kamu sudah menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Selamat ya! Kamu sudah berhak disebut sebagai penulis, Kawan. Penulis pemula.

“Apa-apa saja karakteristik dari seorang penulis?”

Banyak, Kawan. Diantaranya adalah seorang penulis juga adalah seorang pecinta bahasa.

“Kok penulis itu pencinta bahasa?”

Kalau Kamu mau jadi penulis maka Kamu juga harus pencinta bahasa. Kemampuan berbahasa menjadi syarat utama bagi seorang penulis. Bahasa tulis menjadi alat ekspresi utama bagi seorang penulis. Ini mutlak, Kawan. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kalau bahasa seorang penulis kacau, maka tulisannya juga cenderung kacau dan sudah pasti orang malas membacanya. Dan mungkin saja tak ada media cetak yang mau memuatnya, dan sudah pasti tak ada penerbit yang mau menerbitkannya. Sebaliknya jika bahasanya bagus, maka pembaca akan tertarik membacanya. Saya kira novel tetralogi Laskar Pelangi asyik dibaca karena kepiawaian Andrea Hirata mempermainkan kata-kata, kata-kata Andrea Hirata benar-benar menggoda dan terkadang menggelikan bagi pembacanya.

“So, gimana caranya supaya bahasa menjadi bagus?”

Ya harus dengan belajar, Kawan! Belajarnya bisa dengan banyak membaca puisi-puisi, judul lagu, judul film, pokoknya kalimat-kalimat yang indah seperti iklan-iklan yang bertebaran di jalan-jalan, ataupun di teve. Perhatikan dan rasakan keindahan dan keunikan kalimat-kalimat berikut:

- Pohon-pohon Rindu (judul novel dul abdul rahman)
- Ayat-ayat Cinta (judul novel Habiburrahman El Shirazy)
- Terus Terang Philip Terang Terus (iklan lampu neon merek Philip)
- Perempuan Berkalung Sorban (Judul novel Abidah El Khalieqy)
- Hujan Rintih-rintih (judul kumpulan puisi M.Aan Mansyur)
- Sabda Laut (judul novel dul abdul rahman)
Sekali lagi, Kawan, bahwa memang seorang penulis itu harus banyak membaca. Coba bacalah karya-karya yang baik serta pelajarilah cara mereka menggunakan bahasa. Baca dan pelajarilah bagaimana Jalaluddin Rumi mencipta bahasa yang sufistik, Kahlil Gibran mencipta bahasa yang syahdu dan merdu, Buya Hamka menggugah dengan kata-kata yang indah. Jangan lupa pelajari gaya Agatha Christy membuat kata-kata yang sangat menegangkan, atau gaya Guy de Maupasant membuat kata-kata yang lembut.

“Apalagi karakteristik dari seorang penulis?”

Penulis adalah pembaca yang baik.

“Katanya ada penulis yang malas membaca ya?”

Masak sih, kalau memang ada penulis yang malas membaca, jangan diikuti Kawan, pasti dia penulis musiman. Lebih baik kita mengikuti pendapat Robert Silverberg. Kata Silverbeg, ada tiga aturan sukses menulis, yaitu:
1. Banyak membaca
2. Banyak menulis
3. Banyak membaca lagi, banyak menulis lagi.
Nah kan? Makanya perbanyaklah membaca. Tak perlu juga ada persyaratan bahwa harus baca ini, harus baca itu, atau jangan baca ini, jangan baca itu. Bacalah buku atau apa saja yang kamu rasa tertarik untuk membacanya, bisa berupa majalah, koran, kitab suci, bahkan coretan dinding sekalipun. Cuma kalau boleh saya berpesan, kalau misalnya Kamu suka baca buku porno, tolong dibaca sembunyi-sembunyi saja ya, supaya hobi kamu tidak menular kepada yang lain, hehehe.
Begitulah kawan. Dengan banyak membaca, tentu saja Kamu akan mendapatkan setumpuk wawasan yang dapat merangsang munculnya ide untuk menulis. Dengan banyak membaca pula, ide-idemu selalu update. Ingat! Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Penulis yang produktif adalah pembaca yang rajin dan tekun.

“Masih adakah persyaratan lain supaya bisa disebut penulis?”

Nah masih ada Kawan. Publikasikan tulisanmu!
Ingatlah, Kawan! Kamu hanya bisa disebut sebagai penulis jika Kamu menulis. Dan tentu saja Kamu baru diakui oleh masyarakat keberadaanmu sebagai penulis jika tulisanmu sudah terpublikasikan dan masyarakat membacanya. Jadi jika tulisanmu sudah selesai jangan cuma disimpan di file komputer saja, kirimkanlah tulisan-tulisanmu ke media massa. Biarkanlah tulisan-tulisanmu dibaca oleh orang lain sehingga mereka mengakui bahwa Kamu adalah penulis.

“Bagaimana kalau tulisan yang kami buat cukup dipajang saja di blog pribadi?”

Boleh juga tuh. Tapi biasanya kalau media cetak yang memuatnya berarti ada tahap seleksi dulu, dan biasanya yang menyeleksi sudah punya pengalaman sebagai penulis. Kalaulah dipasang di situs-situs yang memang keberadaannya sudah diakui, itu tak masalah. Tapi seorang kawan penyair dari Makassar yang bernama M.Aan Mansyur berani “menggugat”, saya lihat puisi-puisinya nongol duluan di blog pribadinya sebelum nongol di Koran Kompas. Kamu bisa mengikuti gaya Aan, atau siapa saja.

“Apakah media cetak lebih diakui keberadaannya dari pada media internet?”

Nampaknya saat ini begitu, Kawan. Tapi karena teknologi sudah maju, hampir semua media cetak punya media online. Semua berita yang dimuat di media cetak juga di-online-kan. Ada juga media online sastra seperti www.sriti.com yang hanya memuat tulisan(cerpen) yang sudah dimuat oleh media cetak.

“Jadi sebaiknya sebuah tulisan itu dipublikasikan ya.”

Bukan sebaiknya lagi, tapi seharusnya. Karena publikasi sebuah tulisan adalah puncak dari proses kreativitas sebuah kepenulisan. Dan asal tahu saja kawan, bagi seorang penulis, tidak ada pengalaman yang paling berbahagia dan mengesankan kecuali saat tulisannya untuk pertama kali dimuat di media cetak, baik berupa koran, tabloid, maupun majalah. Dan ingat, Kawan! Biasanya publikasi tulisan perdana akan membuka jalan bagi dimuatnya tulisan-tulisan selanjutnya.
Buat saya Kawan, meski –alhamdulillah- ratusan tulisan saya baik cerpen, esai, maupun kritik sastra dimuat di berbagai koran lokal maupun nasional. Tapi sampai sekarang ini setiap kali saya melihat tulisan sendiri di media massa, hati saya selalu “berbunga-bunga” (kayaknya narsis abis ya kawan, hehehe). Tentu saja berbunga-bunga dalam arti saya bahagia, pun dalam arti saya akan memetik bunga uang lagi, maksudnya honor tulisan, Kawan. Hehehe…

“Bagaimana kalau tulisan kami dipublikasikan dalam bentuk sebuah buku?”

Wah! Itu artinya Kamu benar-benar sudah jadi penulis, kawan.
“Maaf, pertanyaan ini sedikit agak nyeleneh.”
Maksudmu, kawan?
“Apakah penulis itu bisa juga disebut artis?”
Artis? Haaa…

“Hidup memang perlu dijalani terus, dipahami atau tidak.
Maka aku pun bersyukur dengan keadaanku sekarang.
Memang aku tidak punya jabatan, tanpa uang berlebihan,
tapi kurasa sudah ada juga yang kuberikan untuk keluarga,
famili, masyarakat, bangsa, dan ummat.
Ya, buku-buku yang kutulis”
(Deliar Noer)

Dul Abdul Rahman. Bekerja sebagai sastrawan dan peneliti. Ia menamatkan pendidikan menengahnya di SMA Negeri Bikeru Sinjai Selatan pada 1993. Pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (1993-1998), Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar (2001-2002), Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (2004-2009). Aktif bersastra di Indonesia dan Malaysia.

Tulisan-tulisannya berupa karya sastra, kritik sastra, dan artikel budaya dimuat koran lokal dan nasional di Indonesia dan Malaysia. Buku sastranya yang sudah terbit:
1. Lebaran Kali Ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009).
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Novelnya yang segera terbit:
- Pohon-Pohon Meranggas
- Kupu-Kupu Bantimurung
- I La Galigo

Karya-karyanya dijadikan bahan penelitian oleh mahasiswa untuk meraih gelar sarjana bahkan pascasarjana. Novelnya Daun-Daun Rindu dijadikan bahan rujukan oleh banyak mahasiswa di Malaysia dari program diploma hingga doktoral untuk meneliti hubungan Indonesia-Malaysia.
Alamat surat elektronik: dulabdul@gmail.com. Atau emanarr@yahoo.com
Tips menulis dul abdul rahman:

APAKAH PENULIS HARUS BERBAKAT?

“Semua orang memiliki bakat.
Yang jarang dijumpai adalah keberanian untuk mengikuti
bakat itu ke lorong-lorong gelap yang dilaluinya.”
(Erica Jong)

“Apakah penulis harus berbakat?”

Bakat? Mengutip pendapat seorang pakar kepenulisan Erica Jong di atas, bahwa semua orang itu memiliki bakat, kawan. Jadi kamu juga punya bakat menulis kok. Tak percaya sama Erica Jong? Tak apa-apa, karena banyak penulis percaya bahwa sebenarnya untuk menulis tidaklah memerlukan bakat. Bakat hanyalah 5% saja, sedangkan 95% adalah kerja keras. Jadi intinya adalah berusaha, berusaha menulis, kawan. Masih ingat dengan pendapat Thomas Alfa Edison yang mengatakan bahwa, “Genius is 98 percent perspiration”(Jenius/kepandaian adalah 98% adalah keringat/usaha)?
Begitulah kawan, segalanya butuh usaha dan kerja keras, termasuk dalam menulis. Jadi tak usah peduli apakah kamu berbakat menulis atau tidak. Menurut saya, ketika kamu sudah punya niat untuk menulis artinya kamu sudah mulai mengenal bakat menulismu. Dan ketika kamu sudah mulai menulis maka saat itulah kamu menemukan bakat menulismu. Maka kembangkanlah terus bakatmu dengan terus menulis dan menulis, membaca, dan menulis lagi.

“Kalau bakat bukanlah merupakan faktor utama yang menentukan sukses seseorang jadi penulis, lalu apa?”

Motivasi dan keterampilan(skill), kawan. Jadi kalau seseorang punya motivasi untuk jadi penulis maka tentu saja ia akan menulis dan terus menulis. Jika ia terus menulis maka skill-nya semakin bagus sebagaimana pepatah mengatakan practice make perfect. Kalau dalam mempelajari bahasa ada istilah yang sering disebut language is only a habit, maka saya pun akan mengatakan bahwa dalam menulis juga ada istilah writing is only a habit. Begitulah kawan, menulis juga hanyalah kebiasaan. Tapi ingat! faktor skill juga bisa didapatkan dan dipelajari.

“Bagaimana caranya kami bisa mendapatkan skill menulis?”

Bacalah buku ini sampai selesai, Kawan. Semoga kamu bisa mendapatkan sesuatu, atau minimal kamu bisa membandingkan pengalaman menulis saya dengan pengalaman menulismu sendiri, pun pengalaman menulis orang lain.

“Tapi, apakah benar jadi penulis tidak diperlukan bakat?”

Mungkin saja seseorang itu punya bakat menulis, tapi siapa yang tahu ia punya bakat menulis ketika ia tidak menulis? Maka menulis sajalah supaya semua orang tahu bahwa kamu punya bakat menulis. Meskipun kamu merasa punya bakat menulis tapi selama kamu tidak menulis, maka tak ada seorang pun yang akan percaya bahwa kamu punya bakat menulis. Iya kan?

“Tapi bakat menulis itu sesungguhnya ada kan?”

Baiklah Kawan! Ternyata keingintahuanmu tentang bakat sangatlah besar. Bakat sebenarnya ada. Karena bakat itu ada, maka muncul istilah pemandu bakat atau pencari bakat. Tapi bakat itu tidak berarti apa-apa tanpa ditunjang oleh usaha dan kerja keras. Contoh: Si A punya bakat menulis 10%, sedangkan Si B hanya 2%. Si A berusaha menulis hanya 50%, sedangkan Si B berusaha keras sampai 98%. Lalu siapa dari keduanya yang paling sukses sebagai penulis? Tentu saja Si B karena hasilnya bisa mencapai 100%, sedangkan Si A hanya 60%. Faktor apa yang menentukan? Tentu saja usaha. Ya, yang menentukan adalah usaha, Kawan. Maka berusahalah kawan! Berusahalah untuk menulis!

“Kira-kira siapa penulis sekarang ini yang lebih mengandalkan usaha daripada bakat?”

Tadi kan saya sudah bilang bahwa tidak ada yang bisa mengetahui dan percaya kepada seseorang apakah ia berbakat menulis atau tidak berbakat sebelum ia menulis. Tapi baiklah, memang bakat biasanya dihasilkan dari garis keturunan. Dari asumsi ini, saya bisa mengatakan bahwa banyak penulis yang bukan berasal dari keluarga penulis. Mereka bisa menjadi penulis karena mereka menekuni sendiri dunia tulis-menulis. Mereka belajar dengan terus menulis serta membaca karya orang lain, termasuk belajar pada penulis-penulis(sastrawan) dunia yang terkenal. Mereka diantaranya adalah Goenawan Muhammad, Arswendo Atmowiloto, Mohammad Sobari, dan masih banyak lagi yang lain.
Dan asal tahu saja Kawan, bila bakat itu memang dihasilkan dari faktor keturunan, maka saya sendiri sesungguhnya tak berbakat jadi penulis sama sekali, tapi dengan usaha yang sungguh-sungguh maka alhamdulillah saya juga bisa jadi penulis sekarang ini, hehehe.

“Kalau Bang Dul merasa tak punya bakat jadi penulis,
lalu apa yang membuat Bang Dul yakin bisa jadi penulis?”

Sejak saya tahu mengaji, saya punya sticker favorit yang “menempel” di otak saya. Sticker itu bersumber dari Al Qur’anul Karim surah Ar-ra’d ayat 11 yang dalam Bahasa Indonesia berbunyi: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Dari sticker yang saya anggap “keramat” itulah Kawan, saya tidak peduli apakah saya berbakat atau tidak berbakat menulis, yang terpenting adalah saya berusaha menulis. Bahkan sticker itu seolah berbisik pada saya setiap kali saya mulai menulis, “Dul! Jangan percaya pada orang lain bahwa kamu tak berbakat menulis, percayalah pada dirimu sendiri bahwa kamu punya bakat menulis dengan mulai menulis sekarang ini juga!”

“Kalau begitu saya akan mulai menulis hari ini juga supaya orang lain percaya bahwa saya punya bakat menulis.
Lalu apa pesan Bang Dul pada kami hari ini?”

Menulislah sekarang ini juga supaya kamu disebut penulis. Pokoknya menulis saja dulu, tak usah takut dan sedih bila ada yang menyebut tulisanmu jelek. Seperti pekerjaan lainnya, menulis juga butuh proses.

“Bagaimana kalau esok saja baru kami mulai menulis?”

Artinya Kamu bukan penulis, Kamu hanyalah calon penulis.

“Jangan percaya pada orang lain bahwa kamu tak berbakat menulis, percayalah pada dirimu sendiri bahwa kamu punya bakat menulis dengan mulai menulis sekarang ini juga!”
(Dul Abdul Rahman)

Dul Abdul Rahman. Bekerja sebagai sastrawan dan peneliti. Ia menamatkan pendidikan menengahnya di SMA Negeri Bikeru Sinjai Selatan pada 1993. Pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (1993-1998), Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar (2001-2002), Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (2004-2009). Aktif bersastra di Indonesia dan Malaysia.

Tulisan-tulisannya berupa karya sastra, kritik sastra, dan artikel budaya dimuat koran lokal dan nasional di Indonesia dan Malaysia. Buku sastranya yang sudah terbit:
1. Lebaran Kali Ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009).
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Novelnya yang segera terbit:
- Pohon-Pohon Meranggas
- Kupu-Kupu Bantimurung
- I La Galigo

Karya-karyanya dijadikan bahan penelitian oleh mahasiswa untuk meraih gelar sarjana bahkan pascasarjana. Novelnya Daun-Daun Rindu dijadikan bahan rujukan oleh banyak mahasiswa di Malaysia dari program diploma hingga doktoral untuk meneliti hubungan Indonesia-Malaysia.
Alamat surat elektronik: dulabdul@gmail.com atau emanarr@yahoo.com