Jumat, 25 Januari 2013

PESAN CINTA DARI HEWAN



Pesan Cinta dari Hewan

Sepasang burung merpati hidup berkasih-kasihan di sebuah pohon besar. Sang merpati jantan sangat mencintai dan menyayangi sang merpati betina, pun sang merpati betina sangat menghormati dan patuh terhadap sang merpati jantan. Sang merpati jantan adalah sosok suami yang sangat bertanggung jawab, setiap hari ia keluar mencari makanan. Ia pun tidak pernah memakan sendirian makanan yang didapatkanya kecuali bersama-sama dengan isterinya sang merpati betina. Sang merpati betina adalah sosok isteri yang sangat menjaga kehormatan dirinya dan suaminya. Ia tidak pernah pergi meninggalkan sarangnya selama suaminya pergi mencari nafkah. Bahkan sang merpati betina tidak pernah tergoda bilamana ada merpati jantan lainnya yang datang menggodanya manakala suaminya pergi mencari nafkah.
Saat itu, musim kemarau segera berakhir, dan musim hujan segera tiba. Sang merpati jantan pun kian rajin mencari makanan sebagai persediaan di kala musim hujan. Karena musim hujan biasanya agak lama, maka sang merpati jantan sebagai kepala rumah tangga berusaha keras agar hidup mereka berdua terjamin pada saat musim hujan nantinya.
Sang merpati jantan mendengar kabar dari burung-burung lainnya, bahwa musim hujan yang akan tiba kali itu lebih panjang daripada musim-musim hujan sebelumnya. Lalu, untuk mengantisipasi musim penghujan yang lebih lama tersebut maka sang merpati jantan pun terus bekerja siang dan malam mengumpulkan persediaan makanan.
Musim kering yang panjang membuat tanaman jagung dan padi petani juga berkurang, sehingga para sang merpati jantan pun susah untuk mengumpulkan makanan. Karena itulah, sang merpati jantan meminta isterinya untuk berhemat.
“Wahai isteriku sayang, karena susah mendapatkan makanan di akhir-akhir musim kemarau yang panjang ini maka kita harus menghemat makanan kita, biar pada musim hujan nanti makanan kita terjamin,” ujar sang merpati jantan.
“Saya hanyalah seorang isteri yang harus taat dan menurut kata suami,” ujar sang merpati betina tersenyum.
Sang merpati jantan sangat senang mendengar ucapan isterinya. Apalagi ia tahu bahwa isterinya adalah sosok yang jujur, apa yang dikatakannya selalu ditepatinya. Pun ia tahu bahwa isterinya adalah sosok yang setia.
Sang merpati jantan pun kian bersemangat. Ia kembali membuat sarang cadangan yang ia gunakan untuk menyimpan bahan-bahan makanan. Setelah bekerja siang dan malam selama berhari-hari, sarang tempat menyimpan jagung dan padi pun sudah penuh.
“Alhamdulillah, kita sudah punya persediaan khusus menjelang musim dingin, isteriku sayang,” ujar sang merpati jantan sambil menatap sarangnya.
“Saya benar-benar bersyukur bisa bersama dengan sosok pendamping yang sangat baik dan bertanggung jawab,” sang merpati betina memuji suaminya.
“Terima kasih isteriku saying,” balas sang merpati jantan sambil merapatkan tubuhnya ke tubuh isterinya.
Menjelang musim penghujan tiba, biasanya bangsa burung melakukan pertemuan khusus di puncak Gunung Bawakaraeng. Semua jenis burung diwajibkan mengirimkan wakilnya pada pertemuan tersebut. Sang merpati jantan yang tinggal di pohon besar itu pun yang mewakili bangsa burung merpati.
Ketika hendak menuju puncak Gunung Bawakareng, kembali sang merpati jantan berpesan, “wahai isteriku sayang, jagalah persediaan makanan kita baik-baik, sebab kalau persediaan makanan kita berkurang sebelum masuk musim penghujan maka dipastikan persediaan makanan kita selama musim hujan tidak akan cukup.”
“Janganlah engkau khawatir suamiku sayang, saya akan menjaga persediaan makanan kita. Dan yakinlah ketika engkau pulang maka persediaan makanan kita dalam sarang itu tidak akan berkurang walau sebijipun,” jawab sang merpati betina sambil memeriksa lumbung makanan mereka.
Sang merpati jantan cepat memagut mesra sang merpati betina, lalu mereka pun memadu kasih bersama. Setelah itu, sang merpati jantan bergegas terbang menuju puncak Gunung Bawakaraeng yang letaknya nun jauh di sana.
Selama kepergian suaminya, sang merpati betina sangat memegang amanah suaminya kuat-kuat, ia pun terus menunggui biji-biji jagung dan padinya. Ia tidak ingin ada burung lain yang mencuri persediaan makanannya tersebut.
Karena pertemuan para bangsa burung berlangsung selama tujuh hari tujuh malam di puncak Gunung Bawakaraeng, maka selama itu pula sang merpati betina bertekad menjaga amanah suaminya. Tetapi baru saja hari ketiga kepergian suaminya, sang merpati betina melihat persediaan makanan mereka berkurang.
“Celaka! Persediaan makanan kami berkurang, padahal seingatku tidak pernah ada burung lain berkunjung ke tempat ini,” ujar sang merpati betina dalam hati.
Memasuki hari keempat, persediaan makanan pun semakin berkurang, sang merpati pun betina semakin panik. Agar persediaan makanan mereka tidak semakin berkurang, maka sang merpati betina pun semakin memperketat penjagaannya. Sang merpati betina bahkan tidak pernah tidur di waktu malam demi menjaga amanah dari suaminya tercinta.
Hingga hari ketujuh, sang merpati betina sudah nampak kurus karena tidak pernah tidur, pun tidak pernah makan karena ia tidak mau persediaan makanannya terus berkurang. Tetapi tetap saja persediaan makanan mereka semakin berkurang, hingga makanan yang ada dalam sarang tinggallah separuhnya saja.
Hari ketujuh itu, sang merpati jantan pun sudah kembali ke sarangnya. Ia begitu kaget mendapati isterinya yang nampak kurus dan pucat.
“Hai isteriku sayang! Mengapa engkau begitu pucat dan kurus?” tanya sang merpati jantan dengan lembut.
“Saya agak kurus dan pucat karena tidak pernah tidur, wahai suamiku sayang,” jawab sang merpati betina dengan sedikit bergetar.
“Mengapa engkau terlihat begitu ketakutan isteriku,” sang merpati jantan agak curiga.
Sang merpati betina semakin gemetaran, “wahai suamiku, siang malam selama kepergianmu saya menjaga baik-baik makanan kita, tetapi entah mengapa persediaan makanan kita semakin berkurang saja.”
Sang merpati jantan langsung menoleh ke sarang tempat persediaan makanan mereka, “Ha? Tinggal setengahnya saja?”
“Saya juga heran persediaan makanan kita berkurang, padahal saya tidak pernah memakannya walau sebijipun,” jawab sang burung betina semakin gemetaran.
Seketika sang merpati jantan berteriak, “Apa katamu? Persediaan makanan kita berkurang tetapi engkau tidak pernah memakannya? Lalu siapa yang memakannya?”
“Sungguh saya tidak pernah memakannya, saya juga tidak pernah melihat ada burung lain yang datang memakannya,” jawab sang merpati betina semakin ketakutan.
“Omong kosong! Tidak mungkin makanan kita berkurang kalau tidak ada yang memakannya,” sang merpati jantan terbang ke ranting yang lebih tinggi dengan emosi yang kian meninggi, “saya yakin ada merpati jantan lain yang datang selama kepergianku, engkau pasti diam-diam menjalin cinta terlarang dengan merpati jantan tersebut.”
Sang merpati betina langsung menangis mendengar tuduhan suaminya. “Demi Allah pencipta alam raya ini, saya tidak pernah berkhianat sebagaimana yang engkau tuduhkan wahai suamiku tercinta,” ujar sang merpati betina di sela-sela tangisnya.
Melihat ada seekor merpati jantan lainnya yang melintas di atas pohon, emosi dan cemburu merpati jantan kian terbakar, “Hei sang betina pelacur, janganlah engkau sok suci, baru sekarang saya tahu bahwa engkau bukanlah isteri yang baik, engkau hanya berpura-pura baik dan penurut agar saya semakin bekerja keras sehingga engkau bisa makan sepuas-puasmu tanpa perlu berusaha, padahal dibelakangku engkau diam-diam menyeleweng.”
Sang merpati betina hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Sang merpati jantan merasa isterinya hanya berpura-pura dan bersandiwara. Ia pun semakin marah. Ia terbang mendekati sang betina. Ia pun langsung mematuk kepala sang merpati betina hingga berkali-kali. Karena kesehatannya memang menurun, sang merpati betina pun terjatuh dari pohon dan mati seketika.
Setelah emosinya agak mereda, sang merpati jantan sedikit menyesali sikapnya. Ia pun terbang ke tanah untuk mengambil jasad isterinya. Kemudian jasad tersebut ia simpan di sarangnya.
“Engkau memang pantas mati karena engkau telah berbohong dan mengkhianatiku,” batin sang merpati jantan.
Sehari setelah sang merpati jantan membunuh isterinya, hujan pun mulai turun. Biji-bijian yang masih tersimpan di sarang merpati ikut kehujanan. Biji-bijian itu kembali mekar sehingga sarang kembali penuh seperti semula.
“Astagfirullah!” teriak sang merpati jantan ketika melihat kejadian itu, “ternyata isteriku tidak bersalah, biji-bijian itu sebelumnya hanya menyusut karena mengering.”
Sang merpati jantan pun bergegas menuju sarangnya, ia menangis sejadi-jadinya sambil memeluk jasad isterinya.
“Maafkan aku wahai isteriku tercinta! Sungguh aku sudah dzalim padamu, aku sudah menuduhmu, memfitnahmu, bahkan membunuhmu. Sungguh aku menyesal, aku tidak akan bisa menemukan lagi sosok pendamping sepertimu,” sang merpati jantan terus terisak-isak memeluk jasad isterinya.
“Wahai isteriku tercinta, sungguh tak ada lagi maknanya seluruh kehidupan apalagi biji-bijian tanpa engkau berada disisiku,” sang merpati jantan terus meratap, “wahai isteriku tercinta, tanpamu entah apalagi yang indah di dunia ini buatku.”
Berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, sang merpati jantan itu terus menangis dan meratapi kematian isterinya. Ia pun terus memeluk tubuh isterinya yang tidak lagi bernyawa. Sang merpati jantan tak mau lagi makan dan minum. Ia bahkan sudah membuang seluruh biji-bijian karena gara-gara biji-bijian tersebutlah ia membunuh isterinya.
Akhirnya sang merpati jantan terbujur kaku dengan posisi kedua kaki dan kedua sayapnya memeluk jasad isterinya.
Segerombolan semut rangrang yang mencium bau amis segera menuju sarang sepasang burung merpati yang sudah mati tersebut. Tetapi rombongan semut rangrang berhenti sejenak ketika melihat posisi kedua jasad burung merpati tersebut, sang merpati jantan memeluk sang merpati betina. Semua semut rangrang iba melihat sepasang jasad burung merpati tersebut.
“Sungguh mereka adalah sepasang burung yang saling mencintai dan mengasihi, kita tidak boleh memakan jasad mereka,” ujar raja semut rangrang.
Semua semut rangrang mengiyakan sambil terisak-isak, sebelum mereka meninggalkan sarang burung merpati, terlebih dahulu para semut rangrang bergotong-royong mengambil dedaunan untuk menutupi kedua bangkai burung merpati tersebut.

 Dul Abdul Rahman. Sastrawan dan peneliti. Aktif bersastra di Indonesia dan Malaysia.

Tulisan-tulisannya berupa karya sastra, kritik sastra, dan artikel budaya pernah dimuat koran lokal dan nasional di Indonesia dan Malaysia. Beberapa karya sastranya seperti:
  1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (kumpulan cerpen, Nala Cipta Litera Makassar, 2006)
  2. Pohon-Pohon Rindu (novel, DIVA Press Yogyakarta, 2009),
  3. Daun-Daun Rindu (novel, DIVA Press Yogyakarta, 2010),
  4. Perempuan Poppo (novel, Penerbit OMBAK Yogyakarta, 2010)
  5. Sabda Laut (novel, Penerbit OMBAK Yogyakarta, 2010)
  6. Sarifah (novel, DIVA Press Yogyakarta, 2011),
  7. La Galigo 1, Napak Tilas Manusia Pertama di Kerajaan Bumi (novel, DIVA Press Yogyakarta, 2012),
  8. La Galigo 2, Gemuruh Batin sang Penguasa Laut (novel, DIVA Press Yogyakarta, 2012).

Lewat novelnya La Galigo, ia pernah diundang dalam Borobudur Writers’ & Cultural Festival 2012. Karya-karyanya banyak dijadikan sebagai bahan acuan dan penelitian bagi para mahasiswa.

Alamat elektronik: dulabdul@gmail.com Penulis bisa juga ditemui di blog pribadinya www.darsastra.blogspot.com. Facebook Page: dul abdul rahman (pengarang). Twitter: @dulabdulrahman